Menurut Prof. Hilman
Hadikusuma, S.H., dalam buku Intisari Hukum Adat Indonesia,
Styady,S.H.,M.Pd.,M.H., (225): Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum
adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran,
upacara perkawinan di Indonesia, sedangkan menurut Prof. Dr. Barend Ter Haar,
B.Zn, perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus
berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang
menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu tersebut.
Sedangkan penjelasan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, manusia tidak akan dapat
berkembang dengan baik dan beradab tanpa adanya suatu proses atau lembaga yang
disebut perkawinan (WIWAHA-Bali) karena dengan melalui perkawinan menyebabkan
adanya keturunan yang baik dan sah, dan kemudian keturunan yang baik dan sah
akirnya berkembang menjadi keturunan, kerabat dan masyarakat yang baik dan sah
pula. Dengan demikian maka perkawinan merupakan unsur tali temali yang
meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat yang baik secara sah.
Sedangkan menurut Prof. Dr. R. Van Dijk, perkawinan menurut hukum
adat sangat bersangkut paut dengan urusan, famili, keluarga, masyarakat,
martabat dan pribadi. Hal ini berbeda dengan perkawinan seperti masyarakat
barat (Eropa) yang modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang
kawin itu saja.
Sedangkan perkawinan
dimaksudkan di kalangan masyarakat adat yang masih kuat mempertahankan prinsip
kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan (darah/ genealogis), fungsi perkawinan
adalah merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan,
mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan terutama dalam
mempertahankan warisan dan ulayat. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan
merupakan sarana untuk memperbaiki
hubungan kekerabatan yang telah jauh atau retak, ia merupakan sarana pendekatan
dan perdamaian antar kerabat.
Eksistensi hukum
perkawinan adat di Mentawai masih kuat setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut mengatur secara nasional mengenai perkawinan-perkawinan
bagi setiap warga negara Indonesia, dan menurut sistematisnya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari 14 bab dan 67 Pasal yang mengatur mengenai:
dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,
batalnay perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,
harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan
anak, perwalian, ketentuan lain dan ketentuan lain dan ketentuan penutup.
Soal eksistensi hukum
perkawinan adat tersebut, Prof. Hilman
Hadikusumah,S.H., (1995:26) berpendapat bahwa oleh karena apabila kita dengan begitu saja
lalu beranggapan bahwa hukum adat yang terhapus oleh perundang-undangan di
bidang perkawinan dapat merubah coraknya menjadi upacara-upacara kebudayaan di
bidang kesenian dan kesusilaan, maka seolah-olah kita berpendapat bahwa hukum
adat itu dapat saja diubah dan dihapus begitu saja oleh perundang-undangan.
Kami berpendapat bahwa hukum adat itu mengikuti masyarakatnya selama
masyarakatnya masih mempertahankan sesuatu perbuatan adat sebagai suatu
perbuatan adat sebagai suatu keharusan maka perbuatan itu adalah perbuatan
hukum bukan hanya perbuatan kesenian
atau kesusilaan semata. Kemungkinan sesuatu hukum adat itu dapat dihapus oleh
peundang-undangan apabila masyarakat adat yang bersangkutan tidak lagi
mempertahankannya. Tergantung pada kesadaran hukum masyarakat yang
bersangkutan. Seiring dengan itu, sistem perkawinan yang menganut adat istiadat
masih eksis di Mentawai walaupun adanya pihak (pendatang/kawin campur) yang
mempengaruhi.
Sistem
perkawinan di Mentawai.
Mentawai terdiri dari
43 desa dan 10 kecamatan yang tersebar dari 4 pulau yaitu pulau Siberut,
Sipora, Pagai Utara dan Selatan. Asal muasal berkembangnya orang Mentawai
adalah dari Simatalu yang kini masuk dalam wilayah pemekaran Siberut Barat.
Mentawai lebih dikenal kental sistem adat istiadatnnya dari Siberut yang
kemudian berkembang hingga ke Sipora dan pulau Pagai Utara dan Selatan. Sistem
perkawinan di Mentawai adalah menganut sistem patrilinial atau garis turunan
ayah (bapak) dan perkawinan menganut sistem eksogame, yaitu seseorang
diharuskan kawin di luar suku keluarganya (keluarga clan). Namun belakangan ini
seiring perkembangan, ada beberapa daerah yang mengawini dalam satu suku akan
tetapi secara adat tidak bisa dikatakan sistem eleutherogami yaitu tidak
mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan, namun larangan-larangan
ini bertalian dengan ikatan keluarga, yakni: Nasab (turunan dekat) dan Musyahara
(periparan).
Proses perkawinan di
Mentawai, terutama di Siberut sangat kuat adat istiadat dan terkesan banyak
sanksi. Proses pacaran dan sanksi seseorang pria yang ketahuan mengirim surat kepada
kekasihnya perempuan, maka laki-laki tersebut mendapatkan sanksi denda yang
rata-rata setiap daerah adalah 1 buah parang (untuk peralatan ke ladang) dan
atau seekor ayam, sedangkan ketahuan mendatangi rumah perempuan secara
diam-diam (niat pacaran) baik pacar gadis maupun janda dan memacari istri orang
(zinah) maka akan dapat sanksi denda atau dikenal istilah tulou yang nilainya bervariasi sesuai dengan tempo dan locus delicty. Selain dikenakan denda
karena mendatangi rumah pacar/ selingkuhan, bila akibat ketahuan mendatangi
rumah perempuan tersebut dalam tempo waktu dekat kehilangan ternak pihak
perempuan, maka si laki-laki juga dikenakan sanksi denda /tulou mengganti kehilangan ternak tersebut karena dianggap menodai
rumah pihak keluarga si perempuan.
Sedangkan proses
pelamaran dan sanksi, untuk dimulainya pertunangan kepada pihak keluarga
perempuan, pria tidak boleh mendatangi rumah si perempuan akan tetapi pihak
orang tualah yang berunding untuk menetapkan jadwal pelamaran untuk memutuskan
pertunangan. Selama proses pertunangan, pasangan kekasih (laki-laki dan
perempuan) tidak boleh dibolehkan bertemu berduaan baik itu untuk ngobrol
maupun mengantar cucian, rantangan/masakan makanan maupun yang lain-lain
kecuali ada salah satu pihak keluarga. Dan bila ternyata keduanya terbukti oleh
warga melakukan pertemuan berdua walaupun tidak melakukan hubungan di luar
kewajaran, maka mendapatkan sanksi sosial yaitu tidak dinikahkan/ dikawinkan
secara agama di gereja / mesjid akan tetapi dinikahkan secara agama di rumah
mempelai. Hal ini dianggap telah menodai sosial masyarakat dalam lingkungan
perkampungan.
Setelah dilakukannya
akad nikah baik di gereja / mesjid dan atau di rumah bagi yang mendapatkan
sanksi sosial dari masyarakat akibat ketahuan berduaan / pertemuan berdua, maka
beberapa waktu kemudian sepersukuan (marga) keluarga perempuan melakukan rembuk di dalam internal
persukuannya untuk hitung-hitungan ternak masing-masing untuk persiapan
mempestakan anak perempuan dan suaminya. Lama waktu setelah perkawinan tidak
ditentukan secara pasti akan tetapi menjadi motivasi dan harga diri, lebih
cepat lebih baik agar tidak dianggap pihak keluarga perempuan tidak punya
apa-apa (ternak).
Soal nilainya perawan
di Mentawai terutama di Pulau Siberut, sangat penting dan akan menjadi
persoalan adat secara serius bila nanti ternyata pada saat malam pertama, istri
tidak lagi perawan (kecuali saat mau nikah/kawin keduanya berterus terang dan
saling menerima). Bila keperawanan ternyata sudah tidak ada, atau sudah
berzinah dengan lelaki lain sebelumnya, maka dianggap telah melakukan
kebohongan dan oleh karena itu pihak laki-laki dapat meminta kembali mas kawin
(barang yang dijadikan sebagai alat bayar) dari pihak perempuan, itulah nilai
prinsip-prinsip nilai keperawanan dan system perkawinan berdasarkan adat istiadat
di Mentawai terutama di pulau Siberut. Jadi terkait pendapat Prof. Andi Hamzah,S.H., salah seorang
guru besar bidang hukum pidana yang menyatakan bahwa ada 3 daerah di Indonesia
salah satunya Mentawai yang mentolerir / membolehkan “kumpul kebo” dalam pernyataannya di Warung Daun, Jalan
Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu 23 Maret 2013 menyikapi pembahasan RUU KUHP
dan KUHAP, perlu pengkajian dan / atau penjelasan lebih dalam atau mungkin
perlu pemaparan data-data dan atau narasumber yang kompeten agar tidak menjadi pemahaman
keliru dan provokatif atau amarah masyarakat, dan atau Mentawai dijadikan alat
untuk melegalkan kumpul kebo?.
sumber : http://www.puailiggoubat.com/index.php?mod=artikel&id=478
Tidak ada komentar:
Posting Komentar